Wednesday, June 3, 2015

Benarkah Hizbut Tahrir Mendewakan Akal?


Oleh : Choirul Anam

Banyak orang yang mengatakan bahwa HT itu terlalu mendewakan akal. Ada juga yang mengatakan bahwa HT itu muktazilah gaya baru, yang menempatkan akal di atas hukum syara'. Ada juga yang mengatakan bahwa HT itu aqlaniyyun. Dan masih banyak lagi ungkapan yang senada.

Saya sendiri tidak tahu, apa motif di balik orang-orang berkata demikian. Saya hanya husnudz-dzon, bahwa mereka berkata begitu karena sangat perhatian dengan HT. Seandainya mereka salah paham itu wajar, karena kitab HT itu sangat banyak dan pembahasan sangat mendalam (daqiq), sehingga kalau hanya mendengar informasi yang tidak utuh, biasanya memang menimbulkan salah paham.

*****
Pembahasan tentang akal dan peranannya, membutuhkan pembahasan yang panjang lebar. Di sini, saya akan membahas secara ringkas. Pembahasan ini dibagi dalam tiga bagian, yaitu 1. Tentang akal sebagai anugerah Allah swt 2. Definisi akal dan batasannya 3. Teknik menilai sesuatu (benda dan perbuatan).

Pertama, akal itu anugrah dari Allah swt yang luar biasa. Perbedaan manusia dengan hewan, adalah karena manusia dianugrahi akal, sementara hewan tidak. Karena itu, anugrah akal ini harus disyukuri dan dimanfaatkan secara optimal dengan cara-cara yang diridloi Allah swt. Allah swt sangat mendorong manusia menggunakan akalnya dan sangat membenci orang-orang yang tidak menggunakan akalnya. Bahkan Allah swt berfirman: "Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal" (QS. Al Baqarah 269). "Sesungguhnya terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal" (QS. Al Baqarah 164). Dan ada ratusan ayat yang semisal dengan itu, yang mendorong manusia memanfaatkan anugrah akalnya secara optimal. Namun, sebagaimana anugrah yang lain, akal ada batasnya. Sehingga akal harus dioperasikan pada wilayahnya, dan tidak boleh dioperasikan di daerah yang berada di luar kapasitasnya.
Jika itu terjadi, akal akan mengalami hang.

Kedua, HT telah membahas definisi akal atau proses berpikir secara panjang lebar dalam satu kitab khusus yang berjudul At-tafkir (bukan at-takfir) karya Syeikh Taqiyuddin. Dari kajian itu, akal atau proses berpikir didefinisikan sebagai "Proses pemindahan gambaran dari suatu objek atau kenyataan (al waqi') ke dalam otak melalui penginderaan oleh panca indera, lalu diproses oleh otak dengan menggunakan informasi sebelumnya (yang tersimpan di otak), sehingga obyek atau kenyataan tersebut dapat ditafsirkan". Dari definisi itu, harus ada 4 komponen dalam proses berpikir: a. Obyek atau fakta yang terindera b. Indra c. Otak d. Informasi yang tersimpan di otak.

Dengan definisi itu, mestinya kita langsung tahu potensi dan batasan akal. Akal hanya bisa bekerja pada fakta terindra, di luar itu akal sudah tak akan mampu. Sehingga masalah surga, neraka, halal, haram, malaikat, dan masalah gaib lainnya, semua itu di luar kemampuan akal manusia. Manusia mengetahuinya hanya berasal dari dalil, baik al-qur’an atau as-sunnah.

Ketiga, bagaimana teknik menilai sesuatu (benda dan perbuatan)? Dalam hal ini HT telah membahas panjang lebar dalam kitab asy syakhsiyah al islamiyah juz 3. Ketika membahas hal ini, HT mengklasifikasikan dalam tiga kriteria.

a). Penilaian sesuatu berdasarkan faktanya. Maka dalam hal ini, HT menjelaskan bahwa akal merupakan alat utama untuk memberikan penilaian. Saat kita ditanya, apa warna jambu? tentu kita tidak perlu merujuk kepada nash-nash syara'. Kita cukup dengan melihatnya dan mengunakan akal kita. Lalu kita jawab: “jambu itu warnanya merah”, misalnya. Contoh lain, siapakah dalang dibalik penyerahan blok cepu? Tentu kita tak perlu mencarinya di al-quran atau al-hadits, tapi kita cukup mencarinya dari fakta-fakta politik dan kita analisis menggunakan akal sehat kita

(b). Penilaian sesuatu berdasarkan kesesuaian dengan tabiat dan fitrah manusia. Dalam hal ini, menurut HT, penilaiannya dikembalikan pada manusia. Seandainya kita ditanya, bagaimana rasa masakan dia? Tentu kita tidak perlu susah payah merujuk pada al-quran atau as-sunnah. Cukup kita rasakan, lalu kita berikan penilaian menurut selera kita. Contoh lain, jika ditanya apakah Anda senang memiliki mobil Toyota Innova? Untuk menjawab, kita tidak perlu mencarinya jauh-jauh di nash-nash syara’. Kita cukup bertanya pada diri kita, senang atau tidak. Kalau senang katakan senang, kalau tidak katakan tidak. Mudah bukan?

(c). Penilaian berdasarkan halal dan haram. Dalam hal ini, HT berpandangan halal dan haram itu di luar jangkauan manusia. Sebab halal dan haram itu hubungannya dengan surga dan neraka yang berada di luar jangkauan manusia. Karena itu, kita hanya bisa menilai berdasarkan informasi dari Dzat Yang Maha Tahu, yaitu Allah. Informasi itu tertuang dalam alquran dan assunah.

Bagaimana hukum makan babi? Bagaimana hukum jual beli? Bagaimana hukum riba? Bagaimana hukum nikah? Bagaimana hukum zina? Dan lain sebagainya. Semuanya hanya bisa kita ketahui dari al-quran dan as-sunnah. Maka dalam hal ini, HT hanya mengatakan bahwa kita hanya sami'na wa atho'na. Akal tak berdaya. Akal hanya digunakan untuk memahami nash alquran dan assunnah. Dalam hal ini, akal tak boleh lancang, dan ikut-ikutan menjadi sumber hukum.

*****
Inilah pemahan HT tentang akal dan posisinya. Apakah menurut Anda, HT itu mendewakan akal?.

Semua terserah Anda untuk menilainya.

Wallahu a'lam.

No comments:

Post a Comment