Friday, May 22, 2015

WIRATHU, BIKSU YANG SESUNGGUHNYA TERORIS SEBENARNYA!



Namanya Wirathu, ia menyebut dirinya sebagai “Burma bin Laden”. Seorang biksu Budha yang memicu kebencian terhadap Muslim di Burma.

Berjubah Safron, pria 45 tahun itu secara teratur menyebarkan gembar-gembor penuh kebencian melalui DVD dan media sosial. Ia memperingatkan bahwa umat Islam yang “menarget gadis Burma tak berdosa dan memerkosa mereka”, serta “menikmati kronisme”.

Kata-katanya tampak tenang stabil hampir seperti orang kesurupan. Wirathu bergoyang-goyang, mata tertunduk menerjemahkan kata-katanya yang “lembut” diucapkan, namun tampak jelas bagaimana paranoid dan ketakutan, dicampur dengan stereotip rasis dan rumor tak berdasar. Ini semua telah menjadi hasutan kekerasan dan menyebarkan informasi yang salah dalam bangsa yang masih tersandung menuju demokrasi itu.

“Kami sedang diperkosa, dilecehkan secara seksual, dikeroyok dan diintimidasi di setiap kota,” kata Wirathu baru-baru ini seperti dilansir The Guardian; berbicara dari biara Masoeyein di Mandalay tempatnya bercokol.

“Di setiap kota, ada mayoritas Muslim yang kasar dan buas,” tambahnya.

Kalau bukan karena popularitasnya, orang pasti mudah untuk mengabaikan Wirathu dan menyebutnya sebagai biksu yang salah informasi tentang Muslim. Namun, ia memimpin sekitar 2500 biksu di biara dihormati. Wirathu memiliki ribuan pengikut di Facebook dan video YouTube-nya telah ditonton puluhan ribu kali.

Meningkatnya keterbukaan Burma, yang pernah dikontrol ketat di bawah junta militer, telah melahirkan gelombang sentimen anti-Muslim yang menyebar di mayoritas dari 60 juta masyarakat Budha. Wirathu banyak berperan di belakang semua itu.

Wirathu mulai populer tahun 2001, ketika ia menciptakan kampanye nasionalis untuk memboikot bisnis Muslim. Wirathu dipenjara selama 25 tahun pada tahun 2003 karena menghasut dan menyebarkan kebencian anti-Muslim. Tetapi ia dibebaskan pada tahun 2010 di bawah amnesti umum.

Sejak dibebaskan itu, Wirathu kembali menebarkan kebencian. Banyak yang percaya kata-katanya telah menjadi pemicu pertempuran Juni lalu antara umat Budha dan Muslim etnis Rohingya di negara bagian Rakhine. Dua ratus orang tewas dan lebih dari 100 ribu mengungsi, dalam peristiwa tersebut.

Wirathu juga memimpin rapat umum para biksu di Mandalay pada bulan September 2014, membela rencana kontroversial Presiden Thein Sein untuk mengirim Rohingya ke negara ketiga. Satu bulan kemudian, lebih banyak kekerasan pecah di negara bagian Rakhine.

Wirathu mengatakan kekerasan di Rakhine adalah percikan untuk pertempuran terbaru di pusat kota Meiktila Burma. Berawal dari perselisihan di sebuah toko emas, kemudian dengan cepat menjadi aksi penjarahan dan pembakaran. Lebih dari 40 orang tewas dan 13 ribu lainnya terpaksa mengungsi. Sebagian besar dari mereka adalah Muslim, setelah masjid, toko-toko dan rumah-rumah dibakar di seluruh kota.

Wirathu mengatakan bagian dari keprihatinannya terhadap Islam adalah bahwa perempuan Budha telah diubah secara paksa dan kemudian dibunuh karena gagal mengikuti aturan Islam. Dia juga percaya bahwa cara halal bagi Muslim untuk membunuh ternak “memungkinkan mereka terbiasa dengan darah dan bisa meningkat ke level ancaman perdamaian dunia”.

Karena itulah, ia memimpin kampanye nasionalis “969”, yang mendorong umat Budha untuk “membeli orang Budha dan toko Budha”. Dan mengkhususkan rumah dan bisnis menggunakan nomor yang terkait dengan Budha, yang tampak bertujuan menciptakan sebuah negara apartheid. Angka 969 mengacu pada sembilan atribut mereka, enam atribut ajarannya dan sembilan atribut urutan Budha.

Wirathu secara terbuka menyalahkan umat Islam untuk menghasut kekerasan baru-baru ini. Sebuah populasi minoritas yang membentuk hanya 5% dari total populasi nasional, Wirathu mengatakan bahwa Muslim Burma sedang dibiayai oleh pasukan Timur Tengah. “Muslim lokal brutal dan liar karena ekstrimis yang menarik kendalinya, dengan menyediakan keuangan, militer dan teknis kekuasaan,” katanya.

Tidak semua orang setuju dengan ajaran Wirathu, termasuk kepercayaan Budha sendiri. “Sisi dia sedikit ke arah kebencian,” kata Abbot Arriya Wuttha Bewuntha dari biara Myawaddy Sayadaw Mandalay. “Ini bukan cara Budha mengajarkan,” tambahnya.

Kata Abbot, Sang Budha mengajarkan bahwa kebencian tidak baik, karena Budha melihat semua orang sebagai makhluk yang sama. Budha tidak melihat orang-orang melalui agama.

Banyak kritik terhadap Wirathu bahwa ia melakukan itu karena kurangnya dunia pendidikan untuk menjelaskan ekstremisme. Bahkan sikapnya lebih dekat kepada kebodohan. Tetapi pandangannya memiliki pengaruh besar di negara yang banyak bisnis dijalankan dengan sukses oleh umat Islam.

Putra kedua dari delapan anak, Wirathu lahir pada tahun 1968 di sebuah kota dekat Mandalay dan hanya bersekolah sampai usia 14 tahun, setelah itu ia menjadi seorang biksu. Ia ingin meninggalkan “kehidupan sipil yang penuh dengan keserakahan dan kedengkian.” Ia juga tidak berniat menikah, “Saya tidak ingin bersama seorang wanita.”

Wirathu mengklaim telah mempelajari Qur’an dan mengetahui siapa saja di antara teman-temannya yang beragama Islam. Namun ia mengatakan, “Kami tidak begitu dekat karena teman-teman Muslim saya tidak tahu bagaimana berbicara dengan para biksu Budha … Saya bisa menerima [menjadi teman] jika mereka menganggap saya seorang tokoh agama yang penting dan dihormati.”

Meskipun telah menghabiskan tujuh tahun penjara karena memicu kekerasan agama, Wirathu memenangkan penghargaan “Kebebasan Beragama” pada Februari dari vihara utama Burma di Inggris, Sasana Ramsi. Pada minggu yang sama, ia menyebarkan desas-desus (untuk memicu pertikaian) bahwa sekolah Rangoon akan dikembangkan menjadi sebuah masjid.

Analis memperingatkan bahwa kebebasan Wirathu untuk menebari isu sesukanya—selain pengaruhnya atas biksu lainnya, yang juga sudah mulai menebarkan anti-Islam—harus menjadi perhatian seluruh dunia. Aktivis Burma dan London School of Economics mengatakan bahwa gerakan kebencian seperti Gerakan Burma 969 itu tidak bisa ditolerir. Apalagi bila terjadi di Eropa, katanya.

Thein Sein dan pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi telah dikritik karena tidak menunjukkan sikap serius terhadap kekerasan yang telah melanda Burma dalam beberapa bulan terakhir. Beberapa telah menunjukkan bahwa banyak serangan telah direncanakan. Utusan khusus PBB Vijay Nambiar mengatakan kekerasan yang terjadi memiliki ciri “kebrutalan yang terlatih” dan teriakan “penebar hasutan” sebagai pemicu masalah.

Aktivis multi-agama di Burma baru-baru ini turun ke jalan untuk melawan kekerasan, mendistribusikan T-shirt dan stiker dengan pesan: “Tidak akan ada konflik ras atau agama karena aku.” Namun ketegangan Budha-Muslim telah menyebar jauh dan luas.

Di Rangoon, terbakarnya masjid baru-baru ini yang menewaskan 13 anak-anak secara luas diyakini sebagai kasus pembakaran.

Banyak Rumor bahwa orang-orang Budha menghasut pertempuran, seperti yang dilakukan oleh Wirathu. Tetapi Wirathu bersikeras dia bekerja sendiri, “Ini adalah keyakinan saya sendiri,” katanya, “Saya ingin dunia tahu ini.”

Dalam khotbah dingin bulan lalu, Wirathu memperingatkan bahwa “ledakan populasi” Muslim Burma bisa berarti satu hal: Mereka akan menguasai negara kita pada akhir nanti.”

Dengan julukan yang dipilihnya, “Burma bin Laden” membuat propaganda kurang ajar, “Setelah kami memenangkan pertempuran ini, kita akan beralih ke target Muslim lainnya.”

Profil Biksu Penebar Kebencian

1968 : Wirathu lahir di Kyaukse, dekat Mandalay
1984 : Bergabung dengan kebiksuan
2001 : Mulai mempromosikan Kampanye Nasionalis 969, di antaranya ajakan memboikot bisnis Muslim
2003 : Dipenjara selama 25 tahun karena menghasut kebencian agama setelah membagikan selebaran anti-Muslim, yang menyebabkan 10 orang Muslim dibunuh di Kyaukse.
2010 : Dibebaskan dari penjara di bawah amnesti umum
Juni 2012 : Kekerasan pecah antara Muslim Rohingya etnis Rakhine dan umat Budha di negara bagian Rakhine, Wirathu disinyalir sebagai penghasutnya.
September 2012 : Wirathu memimpin rapat umum para biksu untuk mendukung usulan Presiden Thein Sein untuk mengirim Rohingya ke negara ketiga.
Oktober 2012 : Kekerasan lebih besar pecah di negara bagian Rakhine.
Maret 2013 : Pertempuran antar agama di Meiktila mengakibatkan 40 tewas dan hampir 13 ribu mengungsi. Stiker dan plakat “969” didistribusikan ke seluruh Burma.

Reporter: Salem
Editor: Abdullah
Sumber: Guardian

No comments:

Post a Comment