Pertanyaan:
Ustadz, bagaimana pandangan Islam mengenai perayaan
Hari Kartini dan bagaimana seharusnya kita menyikapi perayaan tersebut?
Jazakumullahu khairan katsiiran
Wassalaamu’alaikum
Jawaban:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah
Tidak kita pungkiri bahwa R.A. Kartini termasuk salah
satu tokoh perjuangan di negara kita. Usaha yang beliau lakukan merupakan
bagian dari keprihatinan beliau terhadap kesengsaraan rakyat Indonesia yang saat
itu dijajah kolonial Belanda. Hanya saja, beliau lebih banyak memberikan
perhatian kepada kaum wanita. Kami tidak tahu pasti, apa latar belakang beliau.
Melihat sejarah perjuangan Kartini menunjukkan bahwa beliau berobsesi agar kaum
wanita diberikan hak-haknya, seperti hak pendidikan dan dihargai kehormatannya.
Sebagaimana umumnya penjajahan, sering kali kehormatan wanita menjadi korban.
Dugaan kuat kami, perjuangan Kartini tidak ada sangkut pautnya dengan gerakan
kesetaraan gender atau perjuangan emansipasi wanita.
Terlepas dari itu, setidaknya ada beberapa hal yang
patut kita kritisi terkait dengan sikap masyarakat ketika memperingati hari
Kartini.
Pertama:
Gerakan Memakai Kebaya
Kita tidak paham dengan tujuan masyarakat mengenakan
pakaian semacam ini. Orang bisa saja beralasan, “Oh itu dalam rangka meniru
baju Kartini”. Tapi apakah itu esensinya? Serendah itukah pola pikir masyarakat
kita? Apakah dengan mengenakan kebaya kita telah dianggap mencerdaskan kaum
wanita?
Sementara kita yakin, pakaian model kebaya ini sangat
jauh dari pakaian Islami. Bisa dipastikan, orang memakai pakaian ini tidak
mungkin bisa menutupi auratnya. Padahal menampakkan aurat termasuk dosa besar.
Barangkali hadis di bawah ini belum hilang dari ingatan kita, dari Abu Hurairah
radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صِنْفَانِ
مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ
أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ
كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ
كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ
وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ
مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum
pernah aku lihat: (pertama), Sekelompok orang yang memiliki cambuk seperti ekor
sapi untuk memukul manusia dan (kedua), para wanita yang berpakaian tapi
telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring.
Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya,
walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim no.
2128)
Hadis ini memberi peringatan keras bagi wanita untuk
berhati-hati dalam urusan aurat. Ancamannya bukan sesuatu yang ringan,
ancamannya adalah neraka. Kita berlindung kepada Allah darinya.
Apa makna:
“wanita yang berpakaian tapi telanjang”?
Para ulama menjelaskan, secara istilah wanita ini
berpakaian tapi hakikatnya telanjang. Seperti memakai pakaian yang ketat,
sehingga menampakkan lekuk tubuhnya, atau pendek, sehingga menampakkan sebagian
auratnya, atau tipis, sehingga transparan dan tembus pandang. Kain semacam ini,
disebut pakaian dari sisi namanya saja. Akan tetapi, hakikatnya bukan pakaian,
karena tidak bisa menyembunyikan aurat. (binbaz.org.sa)
Ternyata pelanggaran ini, ada pada kebaya. Jika tidak
transparan, minimal ketat, yang menampakkan lekuk tubuh.
Kedua:
Emansipasi Wanita
Disadari maupun tidak, peringatan hari Kartini telah
ditunggangi oleh ideologi yang dihasung dari Barat, yaitu ideologi emansipasi
(kebebasan) wanita. Sebenarnya gerakan ini hanyalah meneruskan ideologi usang
yang dulu dikembangkan di Mesir sekitar awal abad 20.
Melalui gerakan ini, corong-corong Yahudi di berbagai
penjuru dunia, hendak merusak aturan syariat. Mereka paham, umat Islam akan
kesulitan diajak kembali kepada Alquran dan sunah, jika syahwat mereka
dibangkitkan melalui wanita. Gerakan inilah pemicu terbesar merebaknya berbagai
penyimpangan dan kebebasan pergaulan. Inikah yang disebut kebebasan? Ataukah
justru penghinaan?
Islam mengajarkan agar wanita menutup aurat, menjaga
kehormatannya, dan mengambil peran penting dalam mendidik keturunannya. Allah
berfirman,
وَقَرْنَ
فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ
الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Tetaplah tinggal di rumah kalian dan janganlah
kalian bertabarruj (menampakkan aurat), sebagaimana yang dilakukan masyarakat
jahiliyah masa silam.” (QS. Al-Ahzab: 33)
Allah Ta’ala menggandengkan perintah untuk sering
tinggal di rumah, kecuali jika ada kebutuhan, dengan larangan untuk
ber-tabaruj. Karena umumnya orang yang suka keluar rumah, pasti akan
menampakkan auratnya. Lebih dari itu, gerakan kebebasan wanita, hakikatnya
kembali mengulang adat jahiliyah. Apakah memberikan porsi penting semacam ini
Islam dianggap menistakan wanita?
Kita tidak tahu, siapakah yang lebih layak disebut
menghinakan wanita? Apakah Allah Yang Maha Pengasih, Yang Maha Mengetahui hal
terbaik untuk hamba-Nya, ataukah orang-orang yang ingin menjadikan wanita
sebagai barang dagangan dan ajang untuk memuaskan pandangan dan nafsunya?
Ketiga:
Kesetaraan Gender
Tidak terdapat bukti konkret yang menunjukkan bahwa
perjuangan Kartini untuk kesetaraan gender. Beberapa literatur sejarah hanya
menunjukkan bahwa beliau ingin agar wanita mendapatkan hak pendidikan yang
layak. Kalaupun beliau ingin memperjuangkan isu gender, tentu beliau tidak
mungkin bersedia menikah dengan bupati Rembang Adipati Joyodiningrat, yang
sudah memiliki istri tiga.
Lebih dari itu, hakikatnya isu ini termasuk bagian
ideologi yang dihembuskan Barat kepada kaum muslimin. Kali ini yang diangkat
adalah tema keadilan. Mereka ingin membuktikan bahwa Islam adalah ajaran yang
tidak adil, tidak memberikan kesamaan hak, Islam hanyalah imperium bangsa Arab,
yang ingin dikebunkan di berbagai wilayah jajahannya. Apapun alasannya, itulah
celoteh mereka.
Sebagai orang yang beriman, kita berkeyakinan bahwa
Allah adalah sumber keadilan. Allah Dzat yang Maha Adil dan memerintahkan
manusia untuk berlaku adil.
إِنَّ
اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى
عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan
berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu
agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl: 90)
Jika demikian adanya, kita pun yakin bahwa semua
aturan dan firman Allah dalam Alquran adalah keadilan. Dan Allah membedakan
antara laki-laki dan wanita. Allah tegaskan dalam firman-Nya,
وَلَيْسَ
الذَّكَرُ كَالْأُنْثَى
“Laki-laki tidak sebagaimana wanita.” (QS. Ali Imran:
36)
Terkait pembagian warisan, Allah membedakan jatah
lelaki dan wanita:
يُوصِيكُمُ
اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ
مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua
orang anak perempuan…” (QS. An-Nisa: 11)
Dan berbagai dalil lainnya, yang menunjukkan bahwa
syariat membedakan antara lelaki dan wanita. Adanya syariat yang demikian,
karena Dzat yang menurunkan Syariat, Allah Ta’ala Maha Tahu apa yang terbaik
untuk hamba-Nya.
Menyamakan lelaki dan wanita bukanlah aturan yang
terbaik untuk hamba. Karena itu, aturan ini akan menimbulkan kerusakan yang
lebih besar di masyarakat. Atau setidaknya menyebabkan masyarakat kita menjadi
cacat mental.
Lebih dari itu, sejatinya Islam hanya membolehkan
kita untuk memperingati atau merayakan dua hari raya yang Allah tetapkan, Idul
Fitri dan Idul Adha.
Allah a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan
Pembina Konsultasi Syariah)
No comments:
Post a Comment