Di antara kaidah ushul yang sering digunakan secara tidak proporsional adalah kaidah Raf’u al-Haraj (menghilangkan kesempitan). Tidak jarang kaidah ini dipakai sebagai justifikasi untuk menghalalkan sesuatu yang haram, seperti beberapa kaidah lain semisal: Akhafu ad-Dhararayn, Ahwanu asy-Syarrayn atau Mashâlih al-Mursalah. Penggunaan kaidah-kaidah ini secara keliru boleh jadi akibat kekurangpahaman dalam memahami implementasi kaidah ini; bisa juga karena kedangkalan dalam memahami realitas/obyek hukumnya; boleh jadi pula karena faktor kesengajaan dari pihak-pihak yang memang punya niat yang tidak baik untuk semakin menguatkan realitas buruk yang ada.
Berikut ini adalah telaah kritis atas penggunaan kaidah Raf’u al-Haraj yang juga dibahas dalam Kitab Syakhshiyyah al-Islamiyyah Jilid III halaman [483-485] karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani.
Asal-usul Kaidah Raf’u al-Haraj
Pada dasarnya, kaidah raf’u al-haraj (menghilangkan kesukaran) adalah derivasi (turunan) dari kaidah ma’âlât al-af’âl. Ma’âlât al-af’âl bermakna sumber atau tempat merujuknya perbuatan-perbuatan manusia. Kata ma’âl berasal dari kata âla yang bermakna raja’a. Kata al-ma’âl bermakna al-marja’ (tempat kembali), an-nâtijah (kesimpulan atau inti).
Yang dimaksud dengan ma’âlât al-af’âl adalah sumber, inti atau tempat merujuknya perbuatan manusia. Dalam konteks ushul fikih, kaidah ma’âlât al-af’âl diterapkan pada perbuatan-perbuatan yang telah ditetapkan kehalalannya oleh syariah. Namun, tatkala perbuatan itu menimbulkan mafsadat, perbuatan itu akhirnya dilarang. Sebaliknya, ada perbuatan yang konteks asalnya dilarang oleh syariah, tetapi larangan itu akhirnya ditinggalkan tatkala ada mashlahat di dalamnya. Menurut orang yang menggunakan kaidah ini, hukum syariah itu diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak mafsadat (jalbu al-mashâlih wa dar‘u al-mafâsid). Jika ketetapan syariah justru menimbulkan mafsadat maka hukum syariah itu harus ditinggalkan. Sebaliknya, jika ada larangan syariah yang berseberangan dengan kemaslahatan maka larangan itu harus diganti dengan kebolehan. Pasalnya, asal dari penetapan hukum syariah adalah jalbu al-mashâlih wa dar’u al-mafâsid (meraih maslahat dan menolak mafsadat).
Dari kaidah ma’âlât al-af’âl ini dibangunlah beberapa kaidah lain, semacam kaidah raf’u al-haraj, sadd al-dzarâi’, al-hayl, dan lain sebagainya. Bahkan penganut kaidah ini menetapkan bahwa ma’âlâtu al-af’âl adalah asal-muasal dari istinbâth hukum syariah, dan penetapan hukum syariah harus selalu mengacu pada kaidah ini.
Berkaitan dengan kaidah raf’u al-haraj, maksud dari kaidah ini adalah, ada perbuatan-perbuatan yang pada konteks awalnya ghayru masyruu’ (bertentangan dengan hukum syariah), namun jika perbuatan-perbuatan tersebut ditinggalkan akan menyebabkan kesukaran dan kesulitan pada manusia, maka dalam kondisi semacam ini, seseorang dibolehkan melakukan perbuatan ghayru masyrû’ tersebut demi menghindarkan dirinya dari kesulitan dan kesukaran. Begitu pula sebaliknya. Jika perintah syariah justru berpotensi menyebabkan kesulitan dan kesukaran, maka perintah tersebut boleh dianulir demi apa yang disebut dengan raf’u al-haraj. Alasannya, syariah itu ditetapkan untuk mempermudah manusia, bukan untuk menyulitkan.
Dalil Kaidah Raf’u al-Haraj
Sebagian orang yang mengamalkan kaidah ini berhujjah dengan firman Allah Swt.:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesukaran atas kalian (QS al-Baqarah [2]:185).
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan (QS al-Hajj [22]: 78).
Mereka juga mengetengahkan hadis riwayat Imam Ahmad, yakni sabda Rasulullah saw.:
وَلَكِنِّي بُعِثْتُ بِالْحَنِيفِيَّةِ السَّمْحَةِ
Hanya saja, aku diutus dengan kelurusan yang lapang (toleran) (HR Ahmad).
Menurut mereka, nash-nash di atas menunjukkan bahwa Allah Swt. tidak menghendaki adanya kesulitan dan kesukaran pada syariah-Nya. Sebaliknya, syariah Allah diturunkan untuk merealisasikan kemudahan dan kelapangan bagi umat manusia. Atas dasar itu, jika ada ketetapan syariah yang justru menimbulkan kesulitan atau kesukaran pada manusia, maka ketetapan syariah itu harus ditinggalkan. Sebab, hal ini tentu akan bertentangan dengan maksud yang ingin diraih dalam pensyariatan hukum Islam, yakni mempermudah manusia dalam mewujudkan maslahat dan menolak mafsadat.
Argumentasi-argumentasi di atas jelas-jelas keliru dan bertentangan dengan maksud dan kandungan nash-nash yang mereka jadikan sebagai hujjah. Kekeliruan tersebut tampak pada hal-hal berikut ini:
Pertama, firman Allah Swt. dalam surat al-Baqarah ayat 185 di atas khusus berbicara pada konteks rukhshah (keringanan) yang telah ditetapkan oleh Allah kepada kaum Muslim, yakni bolehnya seorang Muslim berbuka puasa ketika tengah berada dalam perjalanan (safar) atau sakit, dan sama sekali tidak berhubungan dengan kaidah raf’u al-haraj. Pasalnya, penetapan rukhshah atas suatu perbuatan merupakan hak prerogatif dari Asy-Syâri’ (Pembuat Hukum). Penetapan apakah suatu perbuatan mengandung rukhshah atau tidak harus didukung oleh dalil. Tidak ada hak bagi akal manusia untuk menetapkan keringanan (rukhshah) pada perintah Allah Swt. dan Rasul-Nya. Dari sini dapat disimpulkan, bahwa menjadikan kaidah raf’u al-haraj sebagai dalil sama artinya dengan telah menempatkan manusia sejajar dengan Allah Swt. Na’ûdzu billâhi min dzâlik.
Kedua, firman Allah Swt. surah al-Hajj (22) ayat 78 hanya berhubungan masalah taklif yang dibebankan Allah kepada manusia, yakni Allah tidak membebani manusia dengan suatu perintah (taklif syariah) yang tidak sanggup dipikul oleh manusia. Ayat di atas juga tidak berhubungan dengan kaidah raf’u al-haraj. Jika kita memperhatikan ayat sebelumnya, makna ayat tersebut akan tersingkap dengan jelas.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ، وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kalian, sujudlah kalian, sembahlah Tuhan kalian dan perbuatlah kebajikan, supaya kalian mendapat kemenangan; dan berjihadlah kalian di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kalian dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan (QS al-Hajj [22]: 77-78).
Makna haraj pada ayat ini adalah adh-dhayq (kesulitan). Dengan demikian, pengertian ayat di atas adalah, sesungguhnya Allah tidak membebani manusia untuk melaksanakan ibadah dan perbuatan-perbuatan baik lainnya, kecuali sekadar dengan kesanggupan manusia. Ayat ini tidak mengandung pengertian bahwa sebab pensyariatan hukum adalah kemudahan sehingga dinyatakan jika ketetapan Allah Swt. dirasa memberatkan maka hukum itu bisa diganti menurut keinginan manusia. Pasalnya, ayat tersebut sama sekali tidak menunjukkan adanya ’illat atas sebuah hukum. Surah al-Hajj ayat 78 hanya menunjukkan pengertian bahwa Allah Swt. tidak membebani manusia dengan taklif yang tidak sanggup dipikul oleh manusia. Pengertian ayat ini sejalan dengan firman Allah Swt.:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya (QS al-Baqarah [2]: 286).
Ketiga, terkait dengan makna hadis riwayat Imam Ahmad di atas adalah, sesungguhnya Nabi saw diutus oleh Allah Swt. dengan membawa agama lurus yang bisa dilaksanakan oleh manusia. Beliau tidak datang dengan agama yang ditujukan untuk memberatkan manusia. Dengan demikian, makna al-hanifiyyah as-samhah pada hadis di atas adalah lurus dan bisa dilaksanakan oleh manusia. Kata samhah di sini selalu terkait dengan kata al-hanifiyyah (lurus), dan tidak berdiri sendiri. Susunan semacam ini menunjukkan bahwa toleransi dan kelapangan dalam hukum Islam harus selalu dikaitkan dan disandarkan dengan dalil syariah, bukan toleransi dan kelapangan yang didasarkan pada hawa nafsu dan kecenderungan akal. Dengan kata lain, hadis di atas sama sekali tidak menganjurkan umat Islam untuk toleran dengan apa yang diharamkan Allah Swt., apalagi sampai mengubah yang haram menjadi halal, dan yang halal menjadi haram, dengan dilandaskan pada kaidah ma’âlât al-af’âl dan derivatnya, di antaranya kaidah raf’u al-haraj.
Orang yang mengamalkan kaidah raf’u al-haraj telah terbiasa meninggalkan sejumlah taklif syariah dengan alasan menghilangkan kesulitan dan kesukaran. Lalu mengapa mereka tidak meninggalkan keseluruhan taklif syariah dengan alasan yang sama? Bukankah pada dasarnya seluruh taklif syariah itu sulit dan berat? Bukankah kata taklif—yang berasal dari kata al-kallafah—bermakna al-masyaqqah (kesulitan)?
Jika demikian kenyataannya, maka seluruh taklif yang dibebankan Allah kepada manusia pasti mengandung unsur kesulitan dan berat. Jika kaidah raf’u al-haraj diakui kebenarannya, maka seluruh taklif syariah harus ditinggalkan karena di dalamnya terkandung unsur kesulitan dan kesukaran. Padahal meninggalkan taklif berat dan sulit yang telah ditetapkan oleh syariat jelas-jelas bertentangan dengan tujuan asal dari taklif syariah. Sebab, taklif dibebankan oleh Allah kepada umat manusia untuk dilaksanakan, bukan untuk ditinggalkan. Meninggalkan taklif dari Allah Swt. sama artinya dengan telah menentang dan melanggar perintah-perintah-Nya.
Untuk itu, mengambil kaidah raf’u al-haraj sebagai dalil syariah sama artinya dengan telah mewajibkan seseorang untuk meninggalkan taklif yang dibebankan Allah kepada manusia. Perbuatan ini jelas-jelas bertentangan dengan nash-nash qath’i tsubût dan dilâlah.
Dari sini dapat dipahami, bahwa seorang Muslim tidak boleh mendasarkan amal perbuatannya berdasarkan kaidah ini. Ia harus tetap berpegang teguh dan mencukupkan diri pada batas dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh dalil-dalil syariah yang terperinci tanpa memperhatikan lagi faktor “kesulitan dan kesukaran”. Ia tidak boleh mengembalikan amal perbuatannya pada kaidah ini seraya meninggalkan ketentuan dan batas yang telah dijelaskan oleh nash-nash yang bersifat rinci.
Misalnya, ketika dalil yang rinci menyatakan haramnya mengangkat wanita sebagai kepala negara dan memilih pemimpin sekular, maka ia dituntut untuk tetap berpegang teguh pada batas dan ketetapan tersebut. Ia tidak boleh meninggalkan ketentuan ini dengan alasan, “kesulitan dan kesukaran”. Bahkan hukum ini tetap harus diberlakukan di tengah kondisi sulit maupun sukar, kecuali ada nash syariah yang menjelaskan adanya rukhshah (keringanan) atas hukum tersebut.
Keempat, kesalahan mendasar lain adalah, mereka telah memposisikan kesulitan (al-haraj) sebagai ’illat syar’iyyah untuk keseluruhan hukum syariah. Oleh karena itu, ada-tidaknya hukum syariah ditentukan berdasarkan ada tidaknya al-haraj (kesulitan). Jika hukum syariah tidak sesuai dan sejalan dengan prinsip kemudahan, maka tidak ada lagi hukum syariah. Artinya, hukum syariah bisa diubah dan tidak diterapkan jika justru menimbulkan kesulitan atau tidak bisa mewujudkan kemudahan bagi manusia. Padahal al-haraj (kesulitan) bukanlah ’illat untuk keseluruhan hukum syariah. Penetapan ada-tidak adanya ’illat harus selalu mengacu pada dalil itu sendiri. Jika sebuah dalil khusus tidak mengandung ’illat maka seorang Muslim wajib terikat dan tunduk dengan ketetapan yang ada di dalam dalil khusus tersebut. Ia tidak diperkenankan mencari-cari ’illat-nya, atau mengembalikan ketentuan hukumnya pada dalil-dalil umum.
Kelima, penggunaan kaidah ini secara langsung telah mengubah struktur berpikir kaum Muslim dari struktur berpikir yang berpatokan pada nash-nash syariah menjadi struktur berpikir pragmatis. Penetapan halal-haram tidak lagi mengacu kepada nash-nash syariah, tetapi mengacu pada kecenderungan akal dan hawa nafsu. Lebih dari itu, kaidah ini telah menggiring kaum Muslim untuk mengubah-ubah hukum syariah jika dianggap tidak lagi bisa mewujudkan kemudahan bagi manusia.
Dengan demikian, penggunaan kaidah ini telah memperkokoh realitas rusak, serta meminggirkan hukum syariah dari tengah-tengah masyarakat. Akhirnya, tidak bisa lagi dibedakan mana hukum syariah dan mana hawa nafsu. Jika hukum syariah ditetapkan berdasarkan kecenderungan akal dan hawa nafsu, niscaya binasalah kehidupan yang ada di muka bumi ini.
Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. []
Berikut ini adalah telaah kritis atas penggunaan kaidah Raf’u al-Haraj yang juga dibahas dalam Kitab Syakhshiyyah al-Islamiyyah Jilid III halaman [483-485] karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani.
Asal-usul Kaidah Raf’u al-Haraj
Pada dasarnya, kaidah raf’u al-haraj (menghilangkan kesukaran) adalah derivasi (turunan) dari kaidah ma’âlât al-af’âl. Ma’âlât al-af’âl bermakna sumber atau tempat merujuknya perbuatan-perbuatan manusia. Kata ma’âl berasal dari kata âla yang bermakna raja’a. Kata al-ma’âl bermakna al-marja’ (tempat kembali), an-nâtijah (kesimpulan atau inti).
Yang dimaksud dengan ma’âlât al-af’âl adalah sumber, inti atau tempat merujuknya perbuatan manusia. Dalam konteks ushul fikih, kaidah ma’âlât al-af’âl diterapkan pada perbuatan-perbuatan yang telah ditetapkan kehalalannya oleh syariah. Namun, tatkala perbuatan itu menimbulkan mafsadat, perbuatan itu akhirnya dilarang. Sebaliknya, ada perbuatan yang konteks asalnya dilarang oleh syariah, tetapi larangan itu akhirnya ditinggalkan tatkala ada mashlahat di dalamnya. Menurut orang yang menggunakan kaidah ini, hukum syariah itu diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak mafsadat (jalbu al-mashâlih wa dar‘u al-mafâsid). Jika ketetapan syariah justru menimbulkan mafsadat maka hukum syariah itu harus ditinggalkan. Sebaliknya, jika ada larangan syariah yang berseberangan dengan kemaslahatan maka larangan itu harus diganti dengan kebolehan. Pasalnya, asal dari penetapan hukum syariah adalah jalbu al-mashâlih wa dar’u al-mafâsid (meraih maslahat dan menolak mafsadat).
Dari kaidah ma’âlât al-af’âl ini dibangunlah beberapa kaidah lain, semacam kaidah raf’u al-haraj, sadd al-dzarâi’, al-hayl, dan lain sebagainya. Bahkan penganut kaidah ini menetapkan bahwa ma’âlâtu al-af’âl adalah asal-muasal dari istinbâth hukum syariah, dan penetapan hukum syariah harus selalu mengacu pada kaidah ini.
Berkaitan dengan kaidah raf’u al-haraj, maksud dari kaidah ini adalah, ada perbuatan-perbuatan yang pada konteks awalnya ghayru masyruu’ (bertentangan dengan hukum syariah), namun jika perbuatan-perbuatan tersebut ditinggalkan akan menyebabkan kesukaran dan kesulitan pada manusia, maka dalam kondisi semacam ini, seseorang dibolehkan melakukan perbuatan ghayru masyrû’ tersebut demi menghindarkan dirinya dari kesulitan dan kesukaran. Begitu pula sebaliknya. Jika perintah syariah justru berpotensi menyebabkan kesulitan dan kesukaran, maka perintah tersebut boleh dianulir demi apa yang disebut dengan raf’u al-haraj. Alasannya, syariah itu ditetapkan untuk mempermudah manusia, bukan untuk menyulitkan.
Dalil Kaidah Raf’u al-Haraj
Sebagian orang yang mengamalkan kaidah ini berhujjah dengan firman Allah Swt.:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesukaran atas kalian (QS al-Baqarah [2]:185).
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan (QS al-Hajj [22]: 78).
Mereka juga mengetengahkan hadis riwayat Imam Ahmad, yakni sabda Rasulullah saw.:
وَلَكِنِّي بُعِثْتُ بِالْحَنِيفِيَّةِ السَّمْحَةِ
Hanya saja, aku diutus dengan kelurusan yang lapang (toleran) (HR Ahmad).
Menurut mereka, nash-nash di atas menunjukkan bahwa Allah Swt. tidak menghendaki adanya kesulitan dan kesukaran pada syariah-Nya. Sebaliknya, syariah Allah diturunkan untuk merealisasikan kemudahan dan kelapangan bagi umat manusia. Atas dasar itu, jika ada ketetapan syariah yang justru menimbulkan kesulitan atau kesukaran pada manusia, maka ketetapan syariah itu harus ditinggalkan. Sebab, hal ini tentu akan bertentangan dengan maksud yang ingin diraih dalam pensyariatan hukum Islam, yakni mempermudah manusia dalam mewujudkan maslahat dan menolak mafsadat.
Argumentasi-argumentasi di atas jelas-jelas keliru dan bertentangan dengan maksud dan kandungan nash-nash yang mereka jadikan sebagai hujjah. Kekeliruan tersebut tampak pada hal-hal berikut ini:
Pertama, firman Allah Swt. dalam surat al-Baqarah ayat 185 di atas khusus berbicara pada konteks rukhshah (keringanan) yang telah ditetapkan oleh Allah kepada kaum Muslim, yakni bolehnya seorang Muslim berbuka puasa ketika tengah berada dalam perjalanan (safar) atau sakit, dan sama sekali tidak berhubungan dengan kaidah raf’u al-haraj. Pasalnya, penetapan rukhshah atas suatu perbuatan merupakan hak prerogatif dari Asy-Syâri’ (Pembuat Hukum). Penetapan apakah suatu perbuatan mengandung rukhshah atau tidak harus didukung oleh dalil. Tidak ada hak bagi akal manusia untuk menetapkan keringanan (rukhshah) pada perintah Allah Swt. dan Rasul-Nya. Dari sini dapat disimpulkan, bahwa menjadikan kaidah raf’u al-haraj sebagai dalil sama artinya dengan telah menempatkan manusia sejajar dengan Allah Swt. Na’ûdzu billâhi min dzâlik.
Kedua, firman Allah Swt. surah al-Hajj (22) ayat 78 hanya berhubungan masalah taklif yang dibebankan Allah kepada manusia, yakni Allah tidak membebani manusia dengan suatu perintah (taklif syariah) yang tidak sanggup dipikul oleh manusia. Ayat di atas juga tidak berhubungan dengan kaidah raf’u al-haraj. Jika kita memperhatikan ayat sebelumnya, makna ayat tersebut akan tersingkap dengan jelas.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ، وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kalian, sujudlah kalian, sembahlah Tuhan kalian dan perbuatlah kebajikan, supaya kalian mendapat kemenangan; dan berjihadlah kalian di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kalian dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan (QS al-Hajj [22]: 77-78).
Makna haraj pada ayat ini adalah adh-dhayq (kesulitan). Dengan demikian, pengertian ayat di atas adalah, sesungguhnya Allah tidak membebani manusia untuk melaksanakan ibadah dan perbuatan-perbuatan baik lainnya, kecuali sekadar dengan kesanggupan manusia. Ayat ini tidak mengandung pengertian bahwa sebab pensyariatan hukum adalah kemudahan sehingga dinyatakan jika ketetapan Allah Swt. dirasa memberatkan maka hukum itu bisa diganti menurut keinginan manusia. Pasalnya, ayat tersebut sama sekali tidak menunjukkan adanya ’illat atas sebuah hukum. Surah al-Hajj ayat 78 hanya menunjukkan pengertian bahwa Allah Swt. tidak membebani manusia dengan taklif yang tidak sanggup dipikul oleh manusia. Pengertian ayat ini sejalan dengan firman Allah Swt.:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya (QS al-Baqarah [2]: 286).
Ketiga, terkait dengan makna hadis riwayat Imam Ahmad di atas adalah, sesungguhnya Nabi saw diutus oleh Allah Swt. dengan membawa agama lurus yang bisa dilaksanakan oleh manusia. Beliau tidak datang dengan agama yang ditujukan untuk memberatkan manusia. Dengan demikian, makna al-hanifiyyah as-samhah pada hadis di atas adalah lurus dan bisa dilaksanakan oleh manusia. Kata samhah di sini selalu terkait dengan kata al-hanifiyyah (lurus), dan tidak berdiri sendiri. Susunan semacam ini menunjukkan bahwa toleransi dan kelapangan dalam hukum Islam harus selalu dikaitkan dan disandarkan dengan dalil syariah, bukan toleransi dan kelapangan yang didasarkan pada hawa nafsu dan kecenderungan akal. Dengan kata lain, hadis di atas sama sekali tidak menganjurkan umat Islam untuk toleran dengan apa yang diharamkan Allah Swt., apalagi sampai mengubah yang haram menjadi halal, dan yang halal menjadi haram, dengan dilandaskan pada kaidah ma’âlât al-af’âl dan derivatnya, di antaranya kaidah raf’u al-haraj.
Orang yang mengamalkan kaidah raf’u al-haraj telah terbiasa meninggalkan sejumlah taklif syariah dengan alasan menghilangkan kesulitan dan kesukaran. Lalu mengapa mereka tidak meninggalkan keseluruhan taklif syariah dengan alasan yang sama? Bukankah pada dasarnya seluruh taklif syariah itu sulit dan berat? Bukankah kata taklif—yang berasal dari kata al-kallafah—bermakna al-masyaqqah (kesulitan)?
Jika demikian kenyataannya, maka seluruh taklif yang dibebankan Allah kepada manusia pasti mengandung unsur kesulitan dan berat. Jika kaidah raf’u al-haraj diakui kebenarannya, maka seluruh taklif syariah harus ditinggalkan karena di dalamnya terkandung unsur kesulitan dan kesukaran. Padahal meninggalkan taklif berat dan sulit yang telah ditetapkan oleh syariat jelas-jelas bertentangan dengan tujuan asal dari taklif syariah. Sebab, taklif dibebankan oleh Allah kepada umat manusia untuk dilaksanakan, bukan untuk ditinggalkan. Meninggalkan taklif dari Allah Swt. sama artinya dengan telah menentang dan melanggar perintah-perintah-Nya.
Untuk itu, mengambil kaidah raf’u al-haraj sebagai dalil syariah sama artinya dengan telah mewajibkan seseorang untuk meninggalkan taklif yang dibebankan Allah kepada manusia. Perbuatan ini jelas-jelas bertentangan dengan nash-nash qath’i tsubût dan dilâlah.
Dari sini dapat dipahami, bahwa seorang Muslim tidak boleh mendasarkan amal perbuatannya berdasarkan kaidah ini. Ia harus tetap berpegang teguh dan mencukupkan diri pada batas dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh dalil-dalil syariah yang terperinci tanpa memperhatikan lagi faktor “kesulitan dan kesukaran”. Ia tidak boleh mengembalikan amal perbuatannya pada kaidah ini seraya meninggalkan ketentuan dan batas yang telah dijelaskan oleh nash-nash yang bersifat rinci.
Misalnya, ketika dalil yang rinci menyatakan haramnya mengangkat wanita sebagai kepala negara dan memilih pemimpin sekular, maka ia dituntut untuk tetap berpegang teguh pada batas dan ketetapan tersebut. Ia tidak boleh meninggalkan ketentuan ini dengan alasan, “kesulitan dan kesukaran”. Bahkan hukum ini tetap harus diberlakukan di tengah kondisi sulit maupun sukar, kecuali ada nash syariah yang menjelaskan adanya rukhshah (keringanan) atas hukum tersebut.
Keempat, kesalahan mendasar lain adalah, mereka telah memposisikan kesulitan (al-haraj) sebagai ’illat syar’iyyah untuk keseluruhan hukum syariah. Oleh karena itu, ada-tidaknya hukum syariah ditentukan berdasarkan ada tidaknya al-haraj (kesulitan). Jika hukum syariah tidak sesuai dan sejalan dengan prinsip kemudahan, maka tidak ada lagi hukum syariah. Artinya, hukum syariah bisa diubah dan tidak diterapkan jika justru menimbulkan kesulitan atau tidak bisa mewujudkan kemudahan bagi manusia. Padahal al-haraj (kesulitan) bukanlah ’illat untuk keseluruhan hukum syariah. Penetapan ada-tidak adanya ’illat harus selalu mengacu pada dalil itu sendiri. Jika sebuah dalil khusus tidak mengandung ’illat maka seorang Muslim wajib terikat dan tunduk dengan ketetapan yang ada di dalam dalil khusus tersebut. Ia tidak diperkenankan mencari-cari ’illat-nya, atau mengembalikan ketentuan hukumnya pada dalil-dalil umum.
Kelima, penggunaan kaidah ini secara langsung telah mengubah struktur berpikir kaum Muslim dari struktur berpikir yang berpatokan pada nash-nash syariah menjadi struktur berpikir pragmatis. Penetapan halal-haram tidak lagi mengacu kepada nash-nash syariah, tetapi mengacu pada kecenderungan akal dan hawa nafsu. Lebih dari itu, kaidah ini telah menggiring kaum Muslim untuk mengubah-ubah hukum syariah jika dianggap tidak lagi bisa mewujudkan kemudahan bagi manusia.
Dengan demikian, penggunaan kaidah ini telah memperkokoh realitas rusak, serta meminggirkan hukum syariah dari tengah-tengah masyarakat. Akhirnya, tidak bisa lagi dibedakan mana hukum syariah dan mana hawa nafsu. Jika hukum syariah ditetapkan berdasarkan kecenderungan akal dan hawa nafsu, niscaya binasalah kehidupan yang ada di muka bumi ini.
Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. []
No comments:
Post a Comment