Oleh: Andi Perdana G*
TANGGAL 21 April bagi wanita Indonesia adalah hari
yang khusus untuk memperingati perjuangan RA Kartini. Tapi sayangnya,
peringatan tersebut sarat dengan simbol-simbol yang berlawanan dengan nilai
yang diperjuangkan Kartini. Misalnya, penampilan perempuan berkebaya atau
bersanggul, lomba masak, dan sebagainya yang merupakan simbol domestikisasi
perempuan yang selalu digugat aktivis liberal-jender.
Suara emansipasi pun terasa lebih kuat pada bulan
April karena Kartini dianggap sebagai pahlawan emansipasi wanita. Terlepas dari
keterlibatan RA. Kartini sebagai pejuang dalam pemberdayaan perempuan di
Indonesia, emansipasi sebenarnya diilhami dari gerakan feminisme di Barat.
Pada abad ke-19, muncul benih-benih yang dikenal
dengan feminisme yang kemudian terhimpun dalam wadah Women’s Liberation
(Gerakan Pembebasan Wanita).
Gerakan yang berpusat di Amerika Serikat ini berupaya
memperoleh kesamaan hak serta menghendaki adanya kemandirian dan kebebasan bagi
perempuan. Pada tahun 1960, isu feminisme berkembang di AS. Tujuannya adalah
menyadarkan kaum wanita bahwa pekerjaan yang dilakukan di sektor domestik
(rumah tangga) merupakan hal yang tidak produktif.
Kemunculan isu ini karena diilhami oleh buku karya
Betty Freidan berjudul The Feminine Mystiquue (1963). Freidan mengatakan bahwa
peran tradisional wanita sebagai ibu rumah tangga adalah faktor utama penyebab
wanita tidak berkembang kepribadiannya. Ide virus peradaban ini kemudian terus
menginfeksi tubuh masyarakat dan ‘getol’ diperjuangkan oleh orang-orang
feminis.
Gencarnya kampanye feminisme tidak hanya berpengaruh
bagi masyarakat AS pada saat itu, tetapi juga di seluruh dunia. Munculnya
tokoh-tokoh feminisme di negeri-negeri Islam seperti Fatima Mernissi (Maroko),
Nafis Sadik (Pakistan), Taslima Nasreen (Bangladesh), Amina Wadud (Malaysia),
Mazharul Haq Khan, serta beberapa tokoh dari Indonesia seperti Wardah Hafidz
dan Myra Diarsi, kemudian beberapa gerakan perempuan penganjur feminisme,
seperti Yayasan Kalyanamitra, Forum Indonesia untuk Perempuan dan Islam (FIPI),
Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK), Yayasan Solidaritas
Perempuan, dan sebagainya, setidaknya menjadi bukti bahwa gerakan ini pun cukup
laku di dunia Islam.
Bahkan tak hanya dari kalangan wanita, dari kalangan
pria juga mendukung gerakan ini seperti Asghar Ali Engineer, Didin Syafruddin,
dan lain-lain.
Dalam perjuangannya, orang-orang feminis seringkali
menuduh Islam sebagai penghambat tercapainya kesetaraan dan kemajuan kaum
perempuan. Hal ini dilakukan secara terang-terangan maupun ‘malu-malu’.
Yang menarik, tuduhan-tuduhan ‘miring’ itu tiba-tiba
memasuki ranah hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan rumah tangga, seperti
ketaatan istri terhadap suami, poligami dianggap sebagai bentuk kekerasan
terhadap perempuan dan menimbulkan potensi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Sementara itu peran domestik perempuan yang
menempatkan perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, dianggap sebagai
peran rendahan. Busana muslimah yang seharusnya digunakan untuk menutup aurat
dengan memakai jilbab (Q.S Al-Ahzab:59) dan kerudung (Q.S An-Nur:31) dianggap
mengungkung kebebasan berekspresi kaum perempuan. Lalu benarkah R.A Kartini
dalam sejarahnya merupakan pahlawan emansipasi, sebagaimana yang diklaim oleh
para pengusung ide feminis?
Andai Kartini
Masih Hidup
Dalam buku Kartini yang fenomenal berjudul Door
Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang), R.A Kartini saat itu
menuliskan kegelisahan hatinya menyaksikan wanita Jawa yang terkungkung adat
sedemikian rupa. Tujuan utama beliau menginginkan hak pendidikan untuk kaum
wanita sama dengan laki-laki, tidak lebih. Ia begitu prihatin dengan budaya
adat yang mengungkung kebebasan wanita untuk menuntut ilmu.
Kartini memiliki cita-cita yang luhur pada saat itu,
yaitu mengubah masyarakat, khususnya kaum perempuan yang tidak memperoleh hak
pendidikan. Juga untuk melepaskan diri dari hukum yang tidak adil dan
paham-paham materialisme, untuk kemudian beralih ke keadaan ketika kaum
perempuan mendapatkan akses untuk mendapatkan hak dan dalam menjalankan
kewajibannya.
Ini sebagaimana terlihat dalam tulisan Kartini kepada
Prof. Anton dan Nyonya pada 4 oktober 1902, yang isinya berbunyi;
“Kami di sini
memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan
sekali-kali, karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan
laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tapi karena kami yakin akan pengaruhnya
yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan
kewajibannya; menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.”
Menurut Kartini, ilmu yang diperoleh para wanita
melalui pendidikan ini sebagai bekal mendidik anak-anak kelak agar menjadi
generasi berkualitas. Bukankah anak yang dibesarkan dari ibu yang berpendidikan
akan sangat berbeda kualitasnya dengan mereka yang dibesarkan secara asal?
Inilah yang berusaha diperjuangkan Kartini saat itu.
Dalam buku tersebut Kartini adalah sosok yang berani
menentang adat-istiadat yang kuat di lingkungannya. Dia menganggap setiap
manusia sederajat sehingga tidak seharusnya adat-istiadat membedakan
berdasarkan asal-usul keturunannya. Memang, pada awalnya Kartini begitu
mengagungkan kehidupan liberal di Eropa yang tidak dibatasi tradisi sebagaimana
di Jawa. Namun, setelah sedikit mengenal Islam, pemikiran Kartini pun berubah,
yakni ingin menjadikan Islam sebagai landasan dalam pemikirannya. Kita dapat
menyimak pada komentar Kartini ketika bertanya pada gurunya, Kiai Sholeh bin
Umar, seorang ulama besar dari Darat Semarang, sebagai berikut:
“Kiai, selama
kehidupanku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama
dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan
bualan rasa syukur hatiku kepada Allah. Namun aku heran tak habis-habisnya,
mengapa para ulama saat ini melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran
dalam bahasa Jawa? Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia
dan sejahtera bagi manusia?”
Demikian juga dalam surat Kartini kepada Ny. Van Kol,
21 Juli 1902 yang isinya memuat, “Moga-moga
kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama
Islam patut disukai.”
Selain itu Kartini mengkritik peradaban masyarakat
Eropa dan menyebutnya sebagai kehidupan yang tidak layak disebut sebagai
peradaban, bahkan ia sangat membenci Barat. Hal ini diindikasikan dari surat
Kartini kepada Abendanon, 27 Oktober 1902 yang isinya berbunyi, “Sudah lewat masamu, tadinya kami mengira
bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada
taranya. Maafkan kami, apakah Ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu
sempurna? Dapatkah Ibu menyangkal bahwa di balik sesuatu yang indah dalam
masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut
peradaban?”
Selanjutnya di tahun-tahun terakhir sebelum wafat ia
menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang bergolak di dalam
pemikirannya. Ia mencoba mendalami ajaran yang dianutnya, yaitu Islam. Pada
saat Kartini mempelajari Islam dalam arti yang sesungguhnya dan mengkaji isi
Al-Qur’an melalui terjemahan bahasa Jawa, Kartini terinspirasi dengan firman
Allah SWT (yang artinya), “…mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran)
kepada cahaya (iman) (QS al-Baqarah [2]: 257),” yang diistilahkan Armyn Pane
dalam tulisannya dengan, “Habis Gelap Terbitlah Terang.”
Demikianlah, Kartini adalah sosok yang mengajak
setiap perempuan memegang teguh ajaran agamanya dan meninggalkan ide kebebasan
yang menjauhkan perempuan dari fitrahnya. Beberapa surat Kartini di atas
setidaknya menunjukan bahwa Kartini berjuang dalam kerangka mengubah keadaan
perempuan pada saat itu agar dapat mendapatkan haknya, di antaranya menuntut
pendidikan dan pengajaran untuk kaum perempuan yang juga merupakan kewajibannya
dalam Islam, bukan berjuang menuntut kesetaraan (emansipasi) antara perempuan
dan pria sebagaimana yang diklaim oleh para pengusung ide feminis. Kini jelas
apa yang diperjuangkan aktivis jender dengan mendorong perempuan meraih
kebebasan dan meninggalkan rumah tangganya bukanlah perjuangan Kartini.
Feminisme
untuk Menipu
Sejarah Kartini telah disalahgunakan sesuai dengan
kepentingan mereka. Kaum Muslim telah dijauhkan dari Islam dengan dalih
kebebasan, keadilan, dan kesetaraan jender.
Refleksi perjuangan Kartini saat ini sangat
disayangkan karena banyak disalahartikan oleh wanita-wanita Indonesia dan telah
dimanfaatkan oleh pejuang-pejuang feminisme untuk menipu para wanita, agar
mereka beranggapan bahwa perjuangan feminisme memiliki akar di negerinya
sendiri, yaitu perjuangan Kartini. Mereka berusaha menyaingi laki-laki dalam
berbagai hal, yang kadangkala sampai di luar batas kodrat sebagai wanita. Tanpa
disadari, wanita-wanita Indonesia telah diarahkan kepada perjuangan feminisme
dengan membawa ide-ide sistem kapitalisme yang pada akhirnya merendahkan dan
menghinakan derajat wanita itu sendiri.
Sistem kapitalisme sejatinya telah menghancurkan
kehidupan manusia, termasuk kaum hawa (perempuan). Akibat diterapkan sistem
kapitalisme, terjadi himpitan ekonomi sehingga tidak sedikit perempuan lebih
rela meninggalkan suami dan anaknya untuk menjadi TKW, misalnya, meskipun nyawa
taruhannya. Ribuan kasus kekerasan terhadap mereka terjadi. Mereka disiksa oleh
majikan hingga pulang dalam keadaan cacat badan, bahkan di antaranya ada yang
akhirnya menemui ajal di negeri orang. Sebagaimana yang dialami derita seorang
TKW asal Palu, Susanti (24 tahun), yang kini tak bisa lagi berjalan karena
disiksa majikannya (Liputan6.com, 9/3/2010).
Maraknya perdagangan perempuan dan anak-anak
(trafficking) pun terjadi. Pada Desember 2009 ditemukan 1.300 kasus perdagangan
manusia dan pengiriman tenaga kerja ilegal dari Nusa Tenggara Timur
(Vivanews.com, 15/12/2009). Sekitar 10.484 wanita yang berada di Kota
Tasikmalaya Jawa Barat rawan dijadikan korban trafficking. Pasalnya, mayoritas
di antara mereka berstatus janda serta berasal dari kalangan yang rawan sosial
dengan taraf ekonomi rendah (Seputar-indonesia.com, 1/4/2010).
Di Kabupaten Cianjur Jawa Barat kasus trafficking dan
KDRT tercatat 548 kasus. Tidak sedikit dari mereka menjadi korban dan
dipekerjakan sebagai pekerja seks komersil (PSK) (Pikiranrakyat.com,
23/3/2010). Fakta-fakta tersebut setidaknya memberikan gambaran kepada kita
bahwa sistem kapitalisme telah gagal dalam memuliakan wanita.
Habis Gelap
Terbitlah Islam
Upaya meneladani perjuangkan Kartini seharusnya
bukanlah kembali pada ide-ide feminis dengan membawa ide kapitalisme yang
absurd, melainkan kembali pada sistem syariah Islam (ideologi Islam), yang
dalam rentang masa kepemimpinannya selama 13 Abad mampu memposisikan wanita
pada kedudukannya yang teramat mulia, maka wajar bila desas desus diskriminasi
perempuan ketika diterapkan ideologi Islam tidak pernah terdengar.
Di muka bumi ini laki-laki maupun perempuan
diposisikan setara. Derajat mereka ditentukan bukan oleh jenis kelamin, tetapi
oleh iman dan amal saleh masing-masing. Sebagai pasangan hidup, laki-laki
diibaratkan seperti pakaian bagi perempuan, dan begitu pula sebaliknya. Namun
dalam kehidupan rumah-tangga, masing-masing mempunyai peran tersendiri dan
tanggung-jawab berbeda, seperti lazimnya hubungan antarmanusia.
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, laki-laki dan perempuan dituntut untuk berperan dan berpartisipasi
secara aktif, melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar serta berlomba-lomba
dalam kebaikan.
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim,
laki-laki dan perempuan yang mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam
ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang
sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang
bersedekah. laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang
memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama)
Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”
Demikian firman Allah dalam al-Qur’an (Q.S al-Ahzab: 35).
Nabi Muhammad SAW juga mengingatkan bahwa
sesungguhnya perempuan itu saudara laki-laki (an-nisâ’ syaqâ’iqu r-rijâl) (HR
Abu Dâwud dan an-Nasâ’i).
Meskipun di kalangan muslim pada kenyataannya masih
selalu dijumpai diskriminasi terhadap perempuan, namun yang mesti dikoreksi
adalah sistemnya, bukan agamanya. Di tanah kelahirannya sendiri, gerakan
feminis dan kesetaraan gender masih belum bisa menghapuskan sama sekali
berbagai bentuk pelecehan, penindasan, dan kekerasan terhadap perempuan. Maka
sekarang sudah saatnya baik laki-laki dan perempuan berjuang untuk mengganti
sistem kapitalisme sekuler dengan sistem Islam, yakni dengan menerapkan sistem
syariah Islam secara kaffah dalam wadah khilafah Islamiyah sebagai wujud
ketaqwaan kita kepada Allah SWT. Karena hanya dengan sistem syariah Islam saja
wanita dimuliakan. Karena itu harusnya, semboyan Kartini di masa lalu, harus
lebih maju kita tingkatkan; dari “Habis Gelap, Terbitlah Terang” menjadi “Habis
Gelap Terbitlah Islam.”
Penulis adalah
Ketua umum Majelis Ta’lim Al-Marjan FPIK IPB 2007-2008 dan Bendahara Umum LDK
BKIM) IPB 2006-2007
hidayatullah.com
No comments:
Post a Comment