Wednesday, April 1, 2015

Mengatur Interaksi Pria Wanita Menurut Syariah

Pengantar

Telaah ini bertujuan menerangkan pengaturan interaksi pria dan wanita dalam kehidupan publik menurut syariah Islam, sebagaimana diterangkan oleh Imam Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya, An-Nizhâm al-Ijtimâ’i fî al-Islâm (2003), khususnya halaman 25-30 pada bab “Tanzhîm ash-Shilât bayna al-Mar’ah wa ar-Rajul (Pengaturan Interaksi Wanita dan Pria).

Pengaturan tersebut sebenarnya bukan persoalan yang mudah. Sebab, menurut An-Nabhani, pengaturan yang ada hendaknya dapat mengakomodasi dua faktor: Pertama, bahwa potensi hasrat seksual pada pria dan wanita dapat bangkit jika keduanya berinteraksi; misalnya ketika bertemu di jalan, kantor, sekolah, pasar, dan lain-lain. Kedua, bahwa pria dan wanita harus saling tolong-menolong (ta’âwun) demi kemaslahatan masyarakat, misalnya di bidang perdagangan, pendidikan, pertanian, dan sebagainya. (h. 25-26).

Bagaimana mempertemukan dua faktor tersebut? Memang tidak mudah. Dengan maksud agar hasrat seksual tidak bangkit, bisa jadi muncul pandangan bahwa pria dan wanita harus dipisahkan secara total, tanpa peluang berinteraksi sedikit pun. Namun, jika demikian, tolong-menolong di antara keduanya terpaksa dikorbankan alias tidak terwujud. Sebaliknya, dengan maksud agar pria dan wanita dapat tolong menolong secara optimal, boleh jadi interaksi di antara keduanya dilonggarkan tanpa mengenal batasan. Namun, dengan begitu akibatnya adalah bangkitnya hasrat seksual secara liar, seperti pelecehan seksual terhadap wanita, sehingga malah menghilangkan kehormatan (al-fadhîlah) dan moralitas (akhlâq).

Hanya ayariah Islam, tegas An-Nabhani, yang dapat mengakomodasi dua realitas yang seakan paradoksal itu dengan pengaturan yang canggih dan berhasil. Di satu sisi syariah mencegah potensi bangkitnya hasrat seksual ketika pria dan wanita berinteraksi. Jadi, pria dan wanita tidaklah dipisahkan secara total, melainkan dibolehkan berinteraksi dalam koridor yang dibenarkan syariah. Di sisi lain, ayariah menjaga dengan hati-hati agar tolong-menolong antara pria dan wanita tetap berjalan demi kemaslahatan masyarakat.

Pengaturan Syariah

An-Nabhani kemudian menerangkan beberapa hukum syariah untuk mengatur interaksi pria dan wanita. Hukum-hukum ini dipilih berdasarkan prinsip bahwa meski pria dan wanita dibolehkan beriteraksi untuk tolong-menolong, interaksi itu wajib diatur sedemikian rupa agar tidak membangkitkan hasrat seksual, yakni tetap menjaga kehormatan (al-fadhîlah) dan moralitas (akhlâq). (h. 27). Di antara hukum-hukum itu adalah:

1. Perintah menundukkan pandangan (ghadhdh al-bashar).
Pria dan wanita diperintahkan Allah Swt. untuk ghadhdh al-bashar (QS an-Nur [24]: 30-31). Yang dimaksud ghadhdh al-bashar menurut An-Nabhani adalah menundukkan pandangan dari apa saja yang haram dilihat dan membatasi pada apa saja yang dihalalkan untuk dilihat (h. 41). Pandangan mata adalah jalan masuknya syahwat dan bangkitnya hasrat seksual, sesuai sabda Nabi saw. dalam satu hadis Qudsi:
اَلنَّظْرَةُ سَهْمٌ مِنْ سَهَامِ إِبْلِيْس مَنْ تَرَكَهَا مِنْ مِخِافِتِي أَبْدَلْتُهُ إِيْمَاناً يَجِدُ حَلاَوَتَهُ فِي قَلْبِهِ
Pandangan mata [pada yang haram] adalah satu anak panah di antara berbagai anak panah Iblis. Barangsiapa meninggalkannya karena takut kepada-Ku, Aku akan menggantikan pandangan itu dengan keimanan yang akan dia rasakan manisnya dalam hatinya.” (HR Al-Hakim, Al-Mustadrak, 4/349; Al-Baihaqi, Majma’ az-Zawâ’id, 8/63). (Abdul Ghani, 2004).

2. Perintah kepada wanita mengenakan jilbab dan kerudung.
Menurut An-Nabhani, busana wanita ada dua: jilbab (QS al-Ahzab [33]: 59) dan kerudung (khimar) (QS an-Nur [24]: 31). Jilbab bukan kerudung, sebagaimana yang disalahpahami kebanyakan orang, tetapi baju terusan yang longgar yang terulur sampai ke bawah, yang dipakai di atas baju rumah (h. 44, 61). Kerudung (khimar) adalah apa saja yang digunakan untuk menutupi kepala (h. 44). Penjelasan An-Nabhani mengenai arti jilbab ini sejalan dengan beberapa kamus, antara lain dalam kitab Mu’jam Lughah al-Fuqahâ':
ثَوْبٌ وَاسِعٌ تَلْبَسُهُ الْمَرْأَةُ فَوْقَ ثِيَابِهَا
[Jilbab adalah] baju longgar yang dipakai wanita di atas baju (rumah)-nya (Qal’ah Jie & Qunaibi, Mu’jam Lughah al-Fuqahâ, hlm. 124; Ibrahim Anis dkk, Al-Mu’jam al-Wâsith, 1/128).

3. Larangan atas wanita bepergian selama sehari-semalam, kecuali disertai dengan mahram-nya.
Larangan ini berdasarkan hadis Nabi saw.:
لاَ يَحَلُّ ِلاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وِالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيْرَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ لَهَا
Tidak halal bagi seorang wanita yang mengimani Allah dan Hari Akhir untuk melakukan perjalanan selama sehari-semalam, kecuali disertai dengan mahram-nya (HR Muslim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban).

4. Larangan ber-khalwat antara pria dan wanita, kecuali wanita itu disertai dengan mahram-nya.
Khalwat artinya adalah bertemunya dua lawan jenis secara menyendiri (al-ijtimâ’ bayna itsnayni ‘ala infirâd) tanpa adanya orang lain selain keduanya di suatu tempat (h. 97); misalnya di rumah atau di tempat sepi yang jauh dari jalan dan keramaian manusia. Khalwat diharamkan berdasarkan hadis Nabi saw.:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بَاِمْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذَيْ مَحْرَمٍ
Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita, kecuali wanita itu disertai dengan mahram-nya (HR al-Bukhari dan Muslim).

5. Larangan atas wanita untuk keluar rumah, kecuali dengan seizin suaminya.
Wanita (istri) haram keluar rumah tanpa izin suaminya, karena suaminya mempunyai hak-hak atas istrinya itu. An-Nabhani menukilkan riwayat Ibnu Baththah dari kitab Ahkâm an-Nisâ’. Disebutkan bahwa ada seorang wanita yang suaminya bepergian. Ketika ayah wanita itu sakit, wanita itu meminta izin kepada Nabi saw. untuk menjenguknya. Nabi saw. tidak mengizinkan. Ketika ayah wanita itu meninggal, wanita itu meminta lagi izin kepada Nabi saw. untuk menghadiri penguburan jenazahnya. Nabi saw. tetap tidak mengizinkan. Lalu Allah Swt. mewahyukan kepada Nabi saw.:
إِنِّي قَدْ غَفَرْتُ لَهَا بَطَاعَةِ زَوْجِهَا
Sesungguhnya Aku telah mengampuni wanita itu karena ketaatannya kepada suaminya (An-Nabhani, An-Nizhâm al-Ijtimâ’i fî al-Islâm, h. 29).

6. Perintah pemisahan (infishâl) antara pria dan wanita.
Perintah ini berlaku untuk kehidupan umum seperti di masjid dan sekolah, juga dalam kehidupan khusus seperti rumah. Islam telah memerintahkan wanita tidak berdesak-desakan dengan pria di jalan atau di pasar (h. 29). (Al-Jauziyah, 1996).

7. Interaksi pria wanita hendaknya merupakan interaksi umum, bukan interaksi khusus.
Interaksi khusus yang tidak dibolehkan ini misalnya saling mengunjungi antara pria dan wanita yang bukan mahram-nya (semisal “apel” dalam kegiatan pacaran), atau pria dan wanita pergi bertamasya bersama. (h. 30).

Syariah: Obat Mujarab bagi Penyakit Sosial

Beberapa hukum syariah yang disebutkan An-Nabhani di atas sesungguhnya merupakan obat bagi penyakit sosial saat ini, yaitu interaksi atau pergaulan antara pria dan wanita yang rusak, yakni telah keluar dari ketentuan syariah Islam. Penyakit sosial ini tak hanya ada di masyarakat Barat (AS dan Eropa), tetapi juga di masyarakat Dunia Islam yang bertaklid kepada Barat. Penyakit masyarakat ini misalnya pelecehan seksual, seks bebas, perkosaan, hamil di luar nikah, aborsi, penyakit menular seksual (AIDS dll), prostitusi, homoseksualisme, lesbianisme, perdagangan wanita, dan sebagainya. (Thabib, 2003: 401-dst).

Pada tahun 1975 Universitas Cornell AS mengadakan survei mengenai pelecehan seksual (sexual harassement) bagi wanita karir di tempat kerja. Ternyata sejumlah 56% wanita karir di AS mengalami pelecehan seksual pada saat berkerja. Di AS, sebanyak 21% remaja putri AS telah kehilangan keperawanan pada umur 14 tahun, dan satu dari delapan remaja putri kulit putih AS (7,12 %) tidak perawan lagi pada umur 20 tahun (Abdul Ghani, 2004). Satu dari sepuluh remaja putri AS (berumur 15-19 tahun) telah hamil di luar nikah dan satu dari lima remaja puteri AS telah melakukan hubungan seksual di luar nikah. (Andrew Saphiro, We’re Number One, h.18; dalam Abdul Ghani, 2004).

Beberapa data tersebut menunjukkan bobroknya masyarakat Barat, yang sebenarnya berakar pada pengaturan interaksi pria dan wanita yang liberal dan sekular, yang telah menjauhkan diri dari nilai-nilai moral dan spiritual.

Sayang, kenyataan pahit itu tak hanya terjadi di Barat, tetapi juga di Dunia Islam, termasuk Indonesia. Indonesia yang sekular juga tidak menjadikan syariah untuk mengatur mengatur interaksi/pergaulan pria dan wanita. Akibatnya pun sama dengan yang ada di masyarakat Barat, yaitu timbulnya penyakit sosial yang kronis yang sulit disembuhkan. RSCM Jakarta setiap minggunya didatangi 4 hingga 5 orang pasien HIV/AIDS (data tahun 2001). Kasus aborsi terjadi 2,5 juta pertahun, dan 1,5 juta di antaranya dilakukan oleh remaja. LSM Plan bekerjasama dengan PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) pernah meneliti perilaku seks remaja Bogor tahun 2000. Hasilnya, dari 400-an responden, 98,6% remaja usia 10-18 tahun sudah melakukan apa yang disebut “pacaran”; 50,7% pernah melakukan cumbuan ringan, 25% pernah melakukan cumbuan berat, dan 6,5% pernah melakukan hubungan seks. Sebanyak 28 responden (pria dan wanita) telah melakukan seks bebas, 6 orang dengan penjaja seks, 5 orang dengan teman, dan 17 orang dengan pacar. (Al-Jawi, 2002: 69)

Data-data ini menunjukkan, penyakit sosial yang parah juga melanda masyarakat kita, yang telah mengekor pada masyarakat Barat yang bejat dan tak bermoral. Sungguh, tidak ada obat yang mujarab untuk penyakit itu, kecuali syariah Islam, bukan yang lain.

Di sinilah letak strategisnya gagasan An-Nabhani di atas, yaitu menjadi obat atau solusi terhadap penyakit sosial yang kronis dengan cara mengatur kembali interaksi pria wanita secara benar dengan syariah Islam. Hanya dengan syariah Islam, interaksi pria wanita dapat diatur secara sehat dan berhasil-guna, yaitu tanpa membangkitkan hasrat seksual secara ilegal, namun tetap dapat mewujudkan tolong-menolong di antara kedua lawan jenis untuk mewujudkan kemaslahatan bagi masyarakat. Wallâhu a’lam. []

Daftar Pustaka
Abdul Ghani, Muhammad Ahmad, Al-‘Adalah al-Ijtimâ’iyah fî Dhaw` al-Fikri al-Islâmi al-Mu’ashir, (T.Tp. : T.p), 2004.
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, Jilbab Wanita Muslimah Menurut Al-Quran dan As-Sunnah (Jilbâb al-Mar’ah al-Muslimah fî al-Kitâb wa as-Sunnah), Penerjemah Hawin Murtadlo & Abu Sayyid Sayyaf, (At-Tibyan: Solo), 2001.
Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim, Ath-Thuruq al-Hukmiyah fî as-Siyâsah asy-Syar’iyyah, (Makkah: Al-Maktabah at-Tijariyah), 1996.
Al-Jawi, Muhammad Shiddiq, Malapetaka Akibat Hancurnya Khilâfah, (Bogor: al-Azhar Press), 2004.
An-Nabhani, Taqiyuddin, An-Nizhâm al-Ijtimâ’i fî al-Islam, (Beirut: Darul Ummah), 2003.
Anis, Ibrahim dkk, Al-Mu’jam al-Wâsith, (Kairo: Darul Ma’arif), 1972.
Thabib, Hamad Fahmi, Hatmiyah Inhidam ar-Ra’sumaliyah al-Gharbiyah, 2003.
Qal’ah Jie, Rawwas, & Hamid Shadiq Qunaibi, Mu’jam Lughah al-Fuqahâ‘, (Beirut: Darun Nafa’is), 1988.

No comments:

Post a Comment