Khilafah Negara Ideologis
Negara Khilafah adalah negara ideologis. Negara yang dibangun berdasarkan ideologi. Keberadaannya untuk menerapkan, menjaga, dan menyebarkan ideologinya ke seluruh dunia. Itulah negara Khilafah. Ideologinya adalah Islam.
Sebagai ideologi, Islam bukan hanya berisi akidah, tetapi juga sistem kehidupan. Islam tidak saja menggariskan konsep (pemikiran), seperti akidah dan solusi atas berbagai problematika kehidupan, tetapi juga menggariskan metode yang khas dan unik. Metode untuk menerapkan, menjaga dan mengemban ideologi tersebut ke seluruh dunia.
Dengan ideologi Islam yang sempurna, didukung dengan sumber daya manusia yang mumpuni, baik di bidang politik, intelektual, ijtihad dan leadership, maka Khilafah akan menjadi negara adidaya baru, menggantikan Amerika, Uni Eropa, Inggris, dan Rusia. Dengan modal yang sama, didukung dengan wilayah yang terbentang luas, meliputi 2/3 dunia, dan jumlah demografi yang sangat besar, yaitu 1,5 milyar jiwa, maka Khilafah bisa mandiri, tidak bergantung kepada negara-negara tersebut.
Dengan potensi tersebut, tentu negara-negara kafir penjajah tidak akan membiarkan Khilafah mewujudkan misinya. Mereka pasti akan berusaha mati-matian mempertahankan cengkraman, paling tidak kepentingan mereka, di negeri kaum Muslim. Karena mereka sangat bergantung kepada dunia Islam, baik dari segi supplay energi, bahan mentah, sampai pasar. Namun, dengan ideologinya, dan kualitas sumber daya manusianya, Khilafah sanggup melepaskan diri dari setiap strategi yang mereka rancang.
Kekayaan Umat Islam
Negara Khilafah, sebagai satu-satunya negara kaum Muslim di seluruh dunia, akan menjaga agama, darah, harta, jiwa, akal, kehormatan, keturunan, negara, termasuk setiap jengkal wilayahnya. Karena itu, tak ada satupun pelanggaran yang dilakukan terhadap agama, darah, harta, jiwa, akal, kehormatan, keturunan, negara, termasuk wilayah, kecuali pasti akan ditindak oleh Khilafah.
Khusus terkait dengan kekayaan kaum Muslim, bisa dipilah menjadi tiga kategori. Pertama, kekayaan milik pribadi. Kedua, kekayaan milik umum. Ketiga, kekayaan milik negara. Seluruh kekayaan ini akan dijaga oleh negara, dan apapun bentuk pelanggaran terhadap kekayaan ini tidak akan dibiarkan.
Cara Khilafah menjaga kekayaan ini adalah dengan menerapkan sistem Islam, bukan hanya di bidang ekonomi, tetapi juga yang lain. Di bidang ekonomi, Islam menetapkan, bahwa hukum asal kekayaan adalah milik Allah, yang dikuasakan kepada manusia. Manusia mendapatkan kuasa, dengan cara menerapkan hukum-Nya. Dari sana, lahir hukum tentang kepemilikan. Karena itu, kepemilikan didefinisikan sebagai “izin pembuat syariat (Allah)”.
Dengan izin pembuat syariat, seseorang bisa memiliki kekayaan, baik secara pribadi, bersama-sama, maupun melalui perantara negara, jika terkait dengan kekayaan milik negara. Dengan cara seperti itu, maka seluruh kekayaan kaum Muslim tidak akan bisa dimiliki oleh siapapun, kecuali dengan izin pembuat syariat.
Dengan cara yang sama, kekayaan milik pribadi tidak akan bisa dinasionalisasi, kecuali dengan izin pembuat syariat. Begitu juga, kekayaan milik umum tidak akan bisa diprivatisasi, karena tidak adanya izin dari pembuat syariat. Begitu pula, kekayaan milik negara bisa diberikan kepada individu juga karena adanya izin dari pembuat syariat, yang diberikan kepada Khalifah, melalui mekanisme iqtha’, dan lain-lain.
Cara Menjaga dan Mengembalikan
Selain mekanisme syariah di atas, Khilafah juga akan melakukan edukasi kepada rakyatnya tentang nilai kekayaan mereka, serta menerapkan sanksi yang tegas bagi siapa saja yang melanggar ketentuan syariah dalam hal kepemilikan, pengelolaan dan pendistribusian kekayaannya. Edukasi bisa dilakukan, termasuk dengan mengangkat wali (pengurus) khusus bagi siapa saja yang mempunyai harta, namun tidak bisa mengelola dan mendistribusikannya dengan benar. Setiap orang satu wali. Mereka akan dibayar oleh negara.
Kebijakan satu orang satu wali ini berlaku untuk: (1) Orang-orang yang termasuk dalam kategori safih(bodoh/lemah akal). Di dalamnya termasuk orang idiot, tidak waras, termasuk anak yang belum sempurna akalnya. (2) Orang-orang yang dianggap muflis (bangkrut), di mana utangnya lebih besar ketimbang asetnya. Dengan kebijakan satu orang satu wali, maka seluruh tindakan mereka bisa diurus dengan baik. Harta mereka terjaga, tidak dihambur-hamburkan, termasuk berpindah tangan kepada orang yang tidak berhak.
Ini terkait dengan kekayaan milik individu. Karena kekayaan ini pengelolaan dan distribusinya kembali kepada individu. Sedangkan kekayaan milik umum dan negara, pengelolaan dan distribusinya kembali kepada negara. Negaralah satu-satunya yang berhak untuk mengelola dan mendistribusikannya sesuai dengan kebijakan yang dianggap tepat. Namun, dalam hal ini, negara tidak boleh melanggar ketentuan syariah. Seperti melakukan privatisasi kekayaan milik umum kepada individu, baik domestik maupun asing.
Untuk menjaga kekayaan ini tugas dan fungsi penguasa, yang mempunyai otoritas sebagai pembuat kebijakan, sangat vital. Karena itu, mereka disyaratkan harus Muslim, adil (tidak fasik), laki-laki, baligh, berakal, merdeka dan mampu menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penguasa. Karena ini akan menjadi jaminan dasar bagi penguasa dalam mengambil kebijakan.
Tidak hanya itu, Khilafah juga mempunyai sistem yang sempurna untuk menjaga kekayaannya. Tidak hanya bertumpu pada jaminan penguasanya, tetapi juga kepada yang lain. Ketika kebijakan penguasa dalam mengelola dan mendistribusikan kekayaan milik umum dan negara tersebut menyimpang, maka umat, baik langsung maupun melalui Majelis Umat, bisa mengoreksi tindakan penguasa. Bisa juga melalui partai politik Islam yang ada.
Jika kebijakan di atas tidak diindahkan oleh penguasa, maka kasus ini bisa diajukan kepada Mahkamah Madzalim. Mahkamah Madzalim bisa membatalkan kebijakan penguasa yang menyimpang tersebut, dan mengembalikannya. Jika kekayaan ini dimiliki oleh individu, korporasi atau negara lain, maka penguasaan atas kekayaan tersebut harus dibatalkan oleh Mahkamah Madzalim, lalu dikembalikan kepada pemiliknya. Jika milik individu, dikembalikan kepada individu. Jika milik umum, dikembalikan kepada milik umum. Jika milik negara, dikembalikan kepada negara.
Termasuk Khilafah akan menutup rapat-rapat pintu investasi asing dan utang luar negeri yang bisa berdampak pada penguasaan kekayaan milik umum dan negara oleh pihak asing. Investasi asing ini selama ini bisa dilakukan langsung, G to G (government to government), P to P (people to people), maupun melalui Bursa Efek. Semuanya harus ditutup. Untuk itu, diberlakukan kebijakan hubungan dengan pihak asing harus melalui satu pintu, yaitu Departemen Luar Negeri.
Demikian juga dengan utang luar negeri. Utang ini selama ini dibalut dengan berbagai istilah, seperti hibah, donor dan pinjaman. Intinya sama, yaitu utang. Kebijakan utang luar negeri ini seolah sudah menjadi kewajiban, karena rezim APBN yang digunakan meniscayakan itu. Karenanya, harus dirombak, mulai dari sistem penyusunan APBN-nya. Dengan begitu, semua celah utang ini bisa ditutup rapat-rapat, kecuali dalam satu kondisi, darurat.
Dengan ditutupnya seluruh pintu yang bisa berdampak pada mengalirnya kekayaan Khilafah keluar tadi, maka kekayaan umat ini akan terjaga. Dan dengan kebijakan sebelumnya, apa yang ada di tangan asing pun bisa dikembalikan.
Oleh: Hafidz Abdurrahman
No comments:
Post a Comment